Politik

'Awas Caleg Keturuan Koruptor'

JAKARTA - Pemilih di Indonesia yang diyakni semakin cerdas diminta tidak memilih dan mewaspadai keturunan koruptor. Pasalnya, parpol ternyata belum mampu menyediakan caleg yang diinginkan rakyat, akibatnya pemilih mentok menentukan pilihan.
 
Hal itu dikatakan pakar komunikasi politik Lely Arriane Napitupulu dalam diskusi di DPD RI, Rabu, (20/11/2013). "Sebaiknya jangan pilih caleg keturunan koruptor, karena caleg seperti ini sangat lebih sadis dari teroris. Sebab mereka membunuh rakyat banyak pelan-pelan dengan cara anggaran yang harusnya untuk rakyat itu,” katanya. 
 
Menurut dia, pemilih juga harus melihat perilaku para politisi. Mereka di awal merayu masyarakat untuk memilih, tapi kalau sudah terpilih kemudian melupakan rakyat. Ditegaskannya, pola komunikasi politik mereka memang seperti itu. Padahal, sebenarnya komunikasi politik itu menjadi proses yang tidak pernah berhenti.
 
Namun proses ini akan selesai sampai caleg itu terpilih. “Disinilah kencenderungan seorang caleg bisa dilihat, berapa banyak badut-badut politik yang kemudian tampil, lalu bicara seenaknya sendiri,” tambahnya.
 
Ketika caleg itu lolos ke DPR, ujar Lely lagi, mereka berubah menjadi sombong ke publik. Mereka tampil menjadi orang kaya baru (OKB) atau orang populer baru (OPB). “Kemana-mana menggunakan PIN, bahkan plat nopol pakai lambang DPR untuk ke sawah-sawah, buat apa itu semua,” katanya.
 
Tak hanya itu, kata Lely, malah badut-badut politik itu tidak menampilkan kesantunan dan etika politik di masyarakat. “Seharusnya, setiap tahun itu tahun politik, karena disinilah caleg berbaik hati,” ujarnya.
 
Back ground (latar belakang) juga penting, sambungnya, bagaimana parpol itu bekerja untuk rakyatnya. Inilah pentingnya etika dan kesantunan politik harus menjadi barang yang perlu dipersiapkan.
 
Sementara itu, Ketua Komite I DPD RI, Alirman Sori, untuk menjadikan pemilih cerdas dan caleg cerdas, maka harus sama-sama equal. “Yang jadi masalah itu, sekarang ini parpol gagal menjadi sumber rekrutmen pemimpin. Sekarang ini banyak indikasinya, makanya sulit harapkan pemimpin yang diharapkan rakyat,” paparnya.
 
Menurut Alirman, saat ini tak ada gunanya mengharapkan pemilih cerdas, jika yang dipilih ternyata tidak cerdas. “Ada sikap politik di daerah yang sudah berkembang, tak usah lakukan edukasi politik di masyarakat. Karena memang uang yang bermain di lapangan,” tukasnya.
 
Masalahnya, lanjut Alirman, yang menjadi persoalan bagi pemilih cerdas itu, karena para calon yang akan dipilih ini tidak ada yang bagus. “Ini kan barang dagangnya berkualitas rendah,” ujarnya seraya menjelaskan kecerdasan pemilih itu perspektifnya hanya soal uang dan pemilih tak bisa menolaknya.
 
Faktor inilah, sambung Alirman lagi, yang membuat caleg-caleg berkualitas menjadi tersingkir dari arena politik. “Orang-orang yang baru datang di partai dan memiliki banyak uang menjadi terpilih di DPR, dan justru yang berkualitas malah tenggelam, karena tak punya dana,” ujarnya. (rep1)